Friday, September 03, 2004

Perawan dan Perhatian Seorang Tukang Bakso Keliling (2)

Bakso terbuat dari daging dan tepung tapioka, tepung kanji, tepung terigu, garam. Serta jangan lupa bumbu penyedap. Nita terserap, pada wujud bakso yang dihadirkan Migin dalam mangkuk ayam jago. Ia terserap pada bayang-bayang kenikmatan yang menanti. Dari setiap tetes kuah, dari setiap gigitan dan dari setiap cerapan di ujung lidahnya. Oooh, jangan hentikan aku sekarang* ceracau Nita dalam hatinya.

Migin menyerahkan semangkuk bakso yang dibuatnya dengan sungguh-sungguh. Semangkuk penuh bakso, kuah, mi telor, bihun, potongan kecil lemak plus daging, lembaran tipis sawi hijau, cincangan daun bawang, sejumput bawang goreng, garam dan bumbu penyedap. Migin terkesiap, Nita menyerahkan selembar seratus ribu rupiah. Bakso ini, meskipun yang paling sedap di dunia, tidak sampai segitu harganya Non, pikir Migin.

Dan Migin sigap. Berpikir keras mengingat-ingat, dalam laci uang di gerobak bakso tidak lebih dari delapan puluh ribu rupiah yang tersisa. Alamaaak, bagaimana membayar kembaliannya?

"Non, ada yang lebih kecil? Ini terlalu besar, saya belum punya kembaliannya," ujar Migin, polos dan jujur.

Nita terganggu. Inilah penghalang antara dirinya dan surga, masalah kembalian membuat semangkuk bakso tak bisa pindah tangan. Dan bayang-bayang kenikmatan sirna sudah. Tidak! Nita menolak. Pikirannya berkelebat dari satu sel otak ke sel otak berikutnya. Huaaah!

"Ya sudah Bang, ambil saja kembaliannya," Nita pasrah.

Tapi, tapi, tapi. Migin tak bisa berkata-kata. Di tangan kanannya selembar uang, seratus ribu rupiah. Di depannya seorang gadis, ranum, padat, begitu muda, begitu kaya, begitu sombongnya meletakkan uang seratus ribu untuknya. Puih! Kau kira aku akan berterimakasih karena itu? Huek! Migin muntah-muntah dalam hatinya.

"Baiklah, saya terima. Tapi mangkoknya ambil saja!" Migin berseru lalu melangkah pergi.

Friday, April 02, 2004

Perawan dan Perhatian Seorang Tukang Bakso Keliling 1

Di rumah berwarna biru, yang pagarnya seperti bambu tapi terbuat dari baja, hidup seorang perawan.

Sementara di sebuah gubuk, jauh di tepian kota, di sebuah kampung becek, tinggal seorang tukang bakso keliling.

Bagaimana sang perawan setiap pagi membasuh tubuhnya dengan air dan sabun, tidak perlu diceritakan disini. Apalagi setiap lekuk tubuhnya yang molek.

Bagaimana si tukang bakso menyiram tubuhnya sekenanya, dengan air pompa sumbangan tetangganya. Tanpa sabun. Dan setiap hari bermandikan keringat di jalan-jalan. Itu juga tidak usah diceritakan disini.

Hal yang penting adalah bagaimana, pada suatu hari yang panas menjelang hujan, sang perawan memanggil si tukang bakso. Dari balik pagar yang mirip bambu, tapi terbuat dari baja, sang perawan memesan semangkuk panas bakso pedas. Lengkap dengan semua bumbu dan atributnya. Lengkap dengan saus merah dan cabai. Lengkap dengan irisan kecil lemak dan daging. Lengkap dengan... yah pokoknya semua yang bisa dimasukkan dalam semangkuk bakso!

Dalam pandangan sang perawan...

Tunggu sebentar, ini mulai membuat lelah. Mulai saat ini kita sebut sang perawan dengan nama Nita. Oke, itu bukan nama sebenarnya. Tapi, demi kenyamanan cerita ini, mari kita sepakati hal itu.

Kemudian, si tukang bakso sekarang akan kita panggil Migin. Setuju tidak setuju!


Dalam pandangan Nita, satu mangkuk bakso itu adalah surga. Hari yang panas-dingin seperti sekarang sangat membutuhkan pelepasan. Ia membayangkan dirinya bermandikan keringat, meski dalam rumah yang selalu ber-AC itu. Ia membayangkan napasnya yang tidak teratur, menghembus-hembuskan hawa panas. Bibirnya yang berdenyar-denyar dalam pedas yang menggelora. Ooh! Huuh! Yeah!

Dalam kepala Migin, ini adalah surga! Seorang gadis molek berpakaian ketat dan seterusnya dan seterusnya. Hari yang panas, tubuh yang lelah. Ah, semua itu tidak ada artinya. Maka dalam hatinya terhunjam tekad. "Ia harus merasakan Bakso paling lezat di seluruh dunia... bakso paling lezat yang pernah ada! Ha ha ha ha ha! Akan kubuatkan surga untukmu Non! Surga dalam semangkuk Bakso!!" hatinya menggelinjang oleh pikiran itu.

bersambung

Saturday, March 20, 2004

Jangan Telepon Aku Tengah Malam

"Rrrriiiiiing!!!" Dering telepon meratap minta diangkat. Padahal malam itu, lima menit lewat tengah malam, sudah tidak ada insan yang terbangun di rumah itu.

Ruang keluarga, tempat telepon itu diletakkan pada sebuah meja kecil di samping lemari, nyaris tidak bercahaya. Cahaya kebiru-biruan, yang membuat ruangan itu nampak seperti berada di bawah laut, berasal dari kombinasi lampu neon di beranda dan tirai yang menutupi jendela besar ke beranda itu.

"Rrrrriiiiing!!!" Lagi-lagi ratapan dering telepon itu mengamuk. Dan seperti sebelumya, tidak ada satupun penghuni rumah yang beringsut dari tidurnya. Mungkin malas, mungkin juga habis ditelan oleh mimpi indah.

***

Seandainya ia benar-benar tertidur, tentu Rina tidak akan resah. Masalahnya, malam ini ia terjaga dan segar bugar terbaring di atas kasur spring bed di kamarnya. Terlentang di atas kasur, Rina memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Sementara suara dering telepon seperti hendak memekakkan telinganya.

"Kenapa kamu menelepon aku tengah malam begini? Kau tahu aku biasa tidur cepat. Kau tahu aku tidak akan mengangkatnya. Bagaimana jika 'dia' yang mengangkat? Apakah kau akan diam saja? Seperti telepon-telepon iseng yang membuat orang ingin mencabut gagang telepon dari tempatnya dan membanting telepon itu sejadi-jadinya? Kenapa sih?" batin Rina riuh-rendah oleh keresahan itu.

Ia membolak-balik tubuhnya dalam selimut, di atas kasur. Setengah mati ia menahan keinginan untuk mengangkat telepon dan berbincang dengan sang penelepon. Dalam hatinya ia yakin, penelepon itu adalah kekasihnya.

Kamar itu hening sejenak. Kemudian, dering telepon yang sebenarnya pelan namun terasa memekik di telinga Rina kembali terdengar. "Rrrriiiiing!!!"

***

Andre tertidur nyenyak di samping istrinya. Setidaknya ia tertidur nyenyak sampai, lima menit setelah tengah malam, terdengar bunti deirng telepon dari ruang keluarga. "Aduh!" batinnya.

Eksekutif muda di sebuah perusahaan asuransi ini pura-pura tertidur lelap. Namun diam-diam ia mendengarkan terus, menunggu dering itu.

"Sudah aku bilang, jangan telepon aku ke rumah... apalagi tengah malam, bahaya tahu!" ujar Andre pada kekasih gelapnya, malam sebelum ini. Waktu itu Rina, istrinya, menginap di rumah orangtuanya karena mau mengurus pernikahan adik bungsunya.

"Tapi aku kangen betul sayang, dan kamu kan udah bilang kalau si jalang itu mau pergi ke tempat orangtuanya.." suara manja mendesah membuat Andre melunak.

"Iya. Aku cuma nggak mau hubungan kita kebongkar... kamu tahu kan, kalau aku minta cerai karena selingkuh, pasti dia bakal minta gono-gini dan segala macem tetek-bengek... malah jangan-jangan prosesnya bisa lebih panjang," Andre melanjutkan, kali ini suaranya lebih lembut.

"Sayang.. kenapa aku nggak boleh nginep disitu aja.. toh si jalang itu gak akan pulang sampai besok sore..." suara manja itu menggoda.

"Husy!! Emangnya kamu pikir tetangga gak akan lihat.. belum sopirku yang pagi-pagi pasti sudah datang untuk mencuci mobil.. kamu mau ketahuan?"

Malam ini Andre heran kenapa kekasih gelapnya itu menelepon lagi. Mungkinkah ia kesepian, memang ia masih mahasiswa dan tinggal sendirian saja di Jakarta, tapi seberapa kesepian sih sampai harus menelepon dua malam berturut-turut?

"Rrrrriiiiiing!!" Ketika telepon terdengar lagi, Andre sudah lelap tertidur. Kelelahannya terlalu banyak untuk membuatnya terjaga, lagipula ia tidak merasa bersalah, "Kan sudah aku bilang, jangan telepon.." batinnya, meluruskan rasa bersalah.

***

"Rrrrriiiiing!!!" Dering telepon memekik, minta perhatian. Entah sampai kapan.

Thursday, January 29, 2004

Pertemuan Kecil

(written by Senja Jingga)

Sebelum pertemuan: Bagaimana mengurai rindu dan amarah yang membelit seperti benang kusut tak beraturan? Saling bersilang-silang, bertumpuk dan tindih-menindih. Kenyataannya aku perih, luka dan letih. Tetapi ada desakan di dalam yang menyembul, menggapai, sukar di lawan: aku rindu dia!

Sudah berpuntung filtra ku hisap. Duduk gelisah di bangku peron stasiun keberangkatan luar kota. Ku ingat lagi sms yang dia kirim petang kemarin: "Dari Yogya jam 8 malam, mungkin sampai Gambir pagi sekitar jam 10-an, jemput ya.." Ku ingat lagi kapan terakhir kali pertemuan dengan dia. 3 bulan yang lalu ku rasa, tetapi kenyataan yang kujalanani seperti sebuah pengalaman usang yang sudah di tutup seperti dalam kumpulan album video. Kenyataan yang aku sendiri sangsi apakah benar aku nikmati dengan sepenuh hati? Terlalu banyak peristiwa yang berlari, suasana yang berbayang buram, kenyataan yang akan pahit buat di ingat-ingat. Retakan janji.

..........

Suasana agak ramai di stasiun kereta ini meredam sedikit kecewa karena kereta (lagi-lagi) telat dari jadwal. Entah kenapa melihat orang lalu-lalang hendak bepergian membuat pikiran jadi tidak lagi terfokus untuk menunggu dia datang -yang karena fokus itu membuat keringat dingin dan kecepatan ku menghisap filtra jadi bertambah-. Akan kemana orang-orang itu pergi? Kulihat wajah-wajah yang satire menggenggam tiket. Suasana bukan holiday, tapi masih saja ada waktu buat orang-orang untuk bepergian, menanggalkan seribu masalah di rumah atau menambah masalah karena bepergian dengan status dinas? Ah, jadi ingin bepergian, meninggalkan seratus duka di rumah.
Mencari suasana asing, orang-orang asing. Alam raya yang masih luas ini terlalu sayang untuk cuma jadi lintasan jalan dan rel kereta. Cuma jadi titik dan garis dalam peta. Aku ingin ke gunung, danau yang jernih, membasuh muka, membasuh jiwa. Ah..

Sudah beberapa kereta lewat. Sudah beratus orang turun dan bergegas meninggalkan peron. Tapi kereta belum juga tiba membawa dia. Sepasang muda-mudi lewat di depan ku, sekilas terlihat cincin emas melingkar di jari manis mereka. Menikah? Kata asing ini melingkar juga di urat nadi. Terus terpompa ke arteri darah masuk ke bilik jantung mebuat darah berdesir cepat. Tercekat di tenggorokan. Duh Tuhan kenapa aku mual dan ingin muntah ? Ilusi masa depan ? Buru-buru aku minum dan kembali mencoba bersikap tenang.

Pikiran tentang masa depan selalu saja membuat iri. Kenapa cuma bisa dipikir. Fobia, takut dan kecemasan. Seperti hantu yang tak nampak yang samar-samar berbayang di tirai jendela waktu malam. Terlalu banyak yang mesti di sembunyikan. Terlalu banyak gembur-gembur tanah tempat mengubur kesetiaan. Terlalu banyak lubang-lubang ku gali dan kubiarkan kosong lupa ku tutup kembali. Ketakutan akan terjerembab dan hilang ditelan galian itu. Kesempurnaan memang bukan identitas human manapun kurasa, tapi bukankah jalan menempuh itu wajib pula di ikhtiarkan. Pekat nian kabut itu untuk kutembus. Atau aku yang tak punya nyali lagi melihat dengan mata jujur. Aku capek.

Rasa letih dan luka ini makin menjadi borok sejarah. Luka yang tergores lama dan makin menjadi karena lupa ku tutup. Tepian yang mulai sembuh terkoyak lagi tersayat pisau berkarat. Seribu puisi sesal rasanya tak cukup kuat menutup darah yang mengucur hebat. Seribu filtra ku hisap tak akan cukup menghilangkan kepenatan dan desakan kuat untuk meminta maaf. Rasa bersalah. Luka. Letih. Rindu. Adakah kamu mengerti ? Aku janjikan jalan yang lapang buat kau itu, adakah kau simpan didalam kalbu? Hik..hik, gadis, betapa kental tangis ku untuk semua memoar yang pernah kita jalani bersama.

Pepohonan, rumah makan, hujan, dedaunan, cinemac, senja.. Aku benci dengan semua yang kelak akan pudar dan tak mungkin tertahan diamuk badai perubahan.


15-Maret-03 22:53
From : 081xxxxxxxx
"Mas, semester depan aku udah bisa ikut wisuda.
Doa'in yah. Mas ke Yogya-nya bareng Papa sama Mama aku aja.
Hitung-hitung pelajaran kalau nanti kita udah nikah. He.He
Miz U. Love"


Gadis kau kirimi aku massage kegelisahan. Aku tak tahu apakah masih bisa bertahan hingga ke waktu yang kau minta itu. Aku letih. Kau luka. Adakah kau tangisi jika masa itu tiba?

...................

Sudah bungkus kedua filtra bersampul putih ini ku buka. Aku makin gelisah dan merinding. Aku tak bisa menduga apakah ini akan jadi kegelisahan ku yang terakhir di stasiun ketika harus menunggu dia dari luar kota. Simpul senyumnya menari lagi di atap-atap stasiun yang penuh oleh rangka besi berwarna hijau. Pyar..Lamunan ku buyar. Announcement pengawas peron memberitakan kereta dari Yogya 10 menit lagi tiba. Aku berdiri menyimak tajam, seperti berdirinya penonton memberikan tepukan tangan pada akhir sebuah concerto musik klasik. Akhirnya..

Benar juga. Kali ini tepat sistem kereta api. 10 menit lebih 28 detik yang terbaca pada jam digital ku, lokomotif kereta muncul berdegub-degub. Kutatap lekat-lekat gerbong yang lewat seperti membawa bau Yogya menyibak udara yang memutar lemas di stasiun. Ngomong-ngomong, aku baru tersadar bahwa dia lupa (atau sengaja) memberi tahu gerbong mana dia duduk. Baik, kuselidik dari depan ke ujung saja. Aku lari menuju gerbong ke depan, tapi sulit, orang-orang sudah banyak turun, berbeban pula.

Seseorang tiba-tiba menarik tas ransel ku dari belakang. "Hai. Lama nunggu ya?" Glek, suara itu ! Lama ku menengok kebelakang. Suara
itu tak perlu menegaskan lagi siapa pemiliknya. Suara dari himpitan nyeri dari ulu hati ku sendiri. Suara yang membuat letih sekaligus ku rindu. Suara dia. Gadis itu. "Hei!" Usik nya lagi. Perih. Aku menengok juga ke belakang.

"Kamu..kenapa nangis ?"

Angry Dog Rambling (Ceracau Anjing Ngamuk!)

Angry Dog duduk di muka tendanya. Jika sebuah kain terpal lusuh berwarna hijau-kuning-kecoklatan yang ditopang oleh kayu-kayu bekas bisa disebut tenda.

Di lapangan kecil tempat bangkai mobil Angry Dog menetapkan kampung halamannya. Lokasinya tepat ditengah-tengah kota Semrawut, tempat berkumpulnya bandar narkoba, bandar judi dan bandar pelacur.

Ia menghisap pipa gadingnya. Pipa gading yang dihiasi ukiran Indian kuno itu selalu diisinya dengan rumput kering, marijuana dan sedikit tembakau: cukup untuk menemani ceracaunya.

Hari ini, sebuah Rabu yang melelahkan, Angry Dog meracau. Waktu sudah senja sebenarnya. Senja di Semrawut bisa dikenali dengan sinar matahari Jingga yang menyepuh setiap tembok lusuh, persis seperti cahaya lampu jalanan menyirami kulit yang keriput.

"Mereka membangunkan kami di tengah-tengah malam, menyuntikkan obat bius yang baunya seperti bisa ular derik, lalu pergi tertawa-tawa.

"Para wanita keluar dari tenda, bertelanjang dada sambil menggumamkan mantera lama yang sudah menjadi terlarang. Lalu dengan segenap kebiadabannya, para lelaki kulit hijau itu menggarap mereka. Tentunya, sambil tertawa-tawa juga.

"Aku masih terlalu kecil untuk melawan. Lagipula, mereka juga menyuntikkan kami, anak-anak kecil, dengan obat bius yang baunya seperti lolipop rasa permen karet.

"Aku ingat betul Losing Lisa, kakak perempuan Mute Bear yang kehilangan satu kakinya ketika berusaha membuat perahu dari bekas lemari es. Lisa menari seperti kesetanan, kurasa ia benar-benar kerasukan setan.

"Lalu kulitnya yang halus seperti rajutan nenek Howling Nanny diterpa cahaya kebiruan yang sengaja disorotkan para biadab berkulit hijau itu. Aku ingat ketika remaja aku biasa mengenang Losing Lisa dengan segenap kemampuanku, saat menyelesaikan 'pekerjaan pribadi' di kamar mandi umum.

"Losing Lisa. Losing Lisa!" Tepat saat ini Angry Dog mulai menangis. Airmatanya berjatuhan layaknya kelereng berjatuhan dari kantung karung goni yang bocor.

"Losing Lisa. Si cantik dari padang rumput. Aku mencintaimu dengan segenap tubuh dan kemaluanku!" Angry Dog berteriak-teriak. Satu tangannya memegang pipa semakin erat. Tampak perubahan di matanya, menjelma seperti mata lelah binatang buruan yang terdesak.

"Para biadab itu menyakiti Lisa. Mereka menusuk-nusuk Lisa. Mereka mengoyak Lisa. Mereka menghantamnya dengan palu. Mereka menyeretnya. Mereka tertawa. HA HA HA HA! Mereka menyuruhnya berdiri seperti anjing kencing. Mereka mengikat lehernya. Mereka menyakiti Lisa. Biadab itu senang sekali, Lisa adalah yang paling cantik diantara perempuan suku kami. Lisa adalah peranakan setengah kulit hijau setengah suku kami, hasil perkosaan para biadab!

"Oh Lisa. Losing Lisa. Kau camar yang diburu hiu. Kau camar kau merpati. Kau kupu-kupu khayalanku. Kau kusetubuhi setiap malam, dalam mimpiku yang paling indah. Oh Lisa. Oh Lisa. Kau terlalu indah untuk mereka!"

Angry Dog mengambil gumpalan (rumput kering, marijuana dan tembakau) dari dalam kantung kecil karung goni yang biasa digunakan kanak-kanak untuk menyimpan kelereng. Kantung itu juga dihiasi motif indian kuno yang berwarna coklat-kemerahan, dilukis dari darah.

"Kulit hijau biadab. Kemudian, waktu aku cukup besar untuk memikul kapak. Kubawa kapak yang paling tajam dan kuhunjamkan pada dada setiap kulit hijau yang bisa kutemui. Aku benci mereka, aku senang melihat darah hijau mereka muncrat dari dada yang terbelah. Aku benci mereka yang mengambil Losing Lisa dari kami!"

Angry Dog berdiri di depan tendanya, pipa gadingnya terjatuh. Kemudian seketika ia bersujud di depan tendanya. Airmata mengalir deras, membentuk lumpur tergenang.

"Lisaaaa," erangannya panjang dan parau.

Beberapa saat kemudian Semrawut ditimpa malam. Bayang-bayang malam tanpa bulan-tanpa bintang menindih perkampungan Angry Dog. Apakah sebuah tenda terpal hijau-kuning-kecoklatan dan serangkaian bangkai mobil bisa dibilang perkampungan?

Malam itu Angry Dog tertidur lelap, seperti bayi, di depan tendanya. Igauannya terdengar berulang-ulang, "Lisa...Lisa...Lisa...Cintaku...Lisa..."

Tengah malam, yang selalu ditandai dengan dentaman jam besar di tengah Semrawut, menjelma. Datang cahaya kebiruan menyiram perkampungan Angry God. Ia tahu benar cahaya apa itu.

"Lisa?" teriaknya pada sekumpulan bayang-bayang yang mendekat. Mereka semua mirip laki-laki, hanya saja tidak berambut atau berpakaian. Kulit mereka hijau metalik.

"Kulit hijau? Pergi...pergi...pergiiii!" Angry Dog berteriak putus asa, kakinya terikat oleh sesuatu, nampak seperti kabel dari tembaga.

Mereka mendekat. Salah satunya membawa suntikan, aroma bisa ular derik meruap dari ujung suntikan itu.

"Lisaaaaaaa!" teriakannya melanglang hingga seluruh Semrawut. Pecah langit!

Sunday, January 25, 2004

Hujannya Senin Pagi

Senin pagi, Doethe harus menyerah pada waktu dan kekacauan rutin setiap minggu. Matanya yang perih (karena semalaman habis menonton film 'dewasa') dan tubuhnya yang pegal (mungkin ada hubungannya dengan satu pak rokok Filtra dan dua cangkir kopi yang dihabiskannya semalam) harus diredam demi mensiasati waktu. Toh, ia harus sampai di kantor sesegera mungkin.

Dalam kendaraan yang berdesakan, hawa panas meruap hingga perih di matanya semakin perih saja rasanya. Doethe hendak menguap, tapi ditahan karena khawatir menghirup beragam larutan keringat yang melayang di udara.

Belum seberapa jauh bus itu melaju, ia merasakan sedikit perbedaan pada cuaca hari itu. Benar juga, tiba-tiba hujan turun di senin pagi.

Oke, hujan memang sesuatu yang indah dan berkah untuk umat manusia, tapi dalam kasus Doethe pagi ini ia mengutuk hujan. Masalahnya, hujan juga membawa udara lembab dari luar ke dalam.

Bagi yang berkendaraan tertutup dengan AC dan minus berdesak-desakan, hujan pagi ini benar-benar romantis. Bagi Doethe, dan entah berapa lusin penumpang yang berhimpitan disekitarnya, hujan adalah petaka.

Lembab udara mendesak masuk, lubang napas seperti disumpel dengan tisu tipis basah berbau asam. Belum lagi aroma lain yang ikut-ikutan mengacaukan suasana. Aduuh! Ada yang kentut lagi! Sialan! Doethe mengutuk dalam hatinya.

Pagi ini, senin pagi yang hujan ini, Doethe mencoba larut dalam lamunannya: tentang mobil pribadi ber AC, tentang alunan musik yang mengalir lembut dari sound system Bose di dashboard (tentunya surround dan gegap gempita), jika perlu tayangan film DVD terbaru di layar pribadi (duduk di kursi belakang, asik sendiri, sementara di luar kemacetan melindas jalanan!).

Ah, khayalan dan lamunan jadi teman yang menyenangkan pagi-pagi begini. Apalagi, senin pagi (yang selalu tegang dan melelahkan) ditambah hujan!

Imajinasi adalah satu-satunya pelarian yang nyaman!

Monday, January 12, 2004

Sindroma Hari Senin

Entah karena semalam habis mabuk, atau memang pada dasarnya pengantuk, Doethe berangkat dari kos-annya di Gang Kober dengan malas-malasan. Padahal jam sudah bergeser ke angka 8 dan ia sudah pasti akan terlambat lagi sampai di kantor.

Senin pagi memiliki semacam ketegangan yang khas di udara. Jalanan yang setengah basah oleh hujan deras minggu sore dan kemacetan yang hinggap disana-sini menggarisbawahi ketegangan yanng bisa membuat orang darah tinggi itu.

Angkutan umum yang padat dan tidak menyisakan harapan. Habis, harapan apalagi yang mau disisakan? Menunggu angkutan yang sekedar longgar saja (supaya bisa menyelipkannya tubuhnya yang overweight itu) seperti menunggu hujan di gurun pasir. Semakin menunggu, semakin frustasi saja tokoh kita ini. Rasanya setiap angkutan yang menyusul angkutan sebelumnya justru bermuatan lebih padat.

Ketika akhirnya ia berhasil menyangkutkan tubuhnya di salah satu angkutan, Doethe terpaksa menyerah pada marahnya dan mencak-mencak. Bagaimana tidak? Di depannya terentang jalan sekian kilometer yang seharusnya bisa dilalui dengan agak tersendat-sendat, hari ini dipadati oleh kendaraan seperti antrian ABG menonton AADC: ruwet dan tegang karena semua orang
ingin melaju duluan.

Lagu ringan Project-Pop membayang di kepalanya. "Isi kebun binatang tumpah semua."

Butuh hampir dua setengah jam bagi Doethe untuk sampai di kantornya. Tak perlu ditanya seberapa pekat aroma keringat bercampur 'uap besi' menempel di tubuhnya.

Namun, yang paling membuat Doethe ingin berteriak-teriak seperti orang gila di film Indonesia 'jaman dulu' adalah kenyataan berikut ini: Saat ia hendak mengambil handphonenya (yang ia kubur di dalam tas kerja, di balik kaos dalam cadangan dan beberapa kertas-kertas coretan serta buku agenda 2004) benda ajaib itu sudah raib.

"Padahal handphone 'busuk' begitu, kok masih ada aja yang mau ngambil ya?" ia akhirnya cuma bisa mengurut dada dan perut yang semakin gembul.