Saturday, March 20, 2004

Jangan Telepon Aku Tengah Malam

"Rrrriiiiiing!!!" Dering telepon meratap minta diangkat. Padahal malam itu, lima menit lewat tengah malam, sudah tidak ada insan yang terbangun di rumah itu.

Ruang keluarga, tempat telepon itu diletakkan pada sebuah meja kecil di samping lemari, nyaris tidak bercahaya. Cahaya kebiru-biruan, yang membuat ruangan itu nampak seperti berada di bawah laut, berasal dari kombinasi lampu neon di beranda dan tirai yang menutupi jendela besar ke beranda itu.

"Rrrrriiiiing!!!" Lagi-lagi ratapan dering telepon itu mengamuk. Dan seperti sebelumya, tidak ada satupun penghuni rumah yang beringsut dari tidurnya. Mungkin malas, mungkin juga habis ditelan oleh mimpi indah.

***

Seandainya ia benar-benar tertidur, tentu Rina tidak akan resah. Masalahnya, malam ini ia terjaga dan segar bugar terbaring di atas kasur spring bed di kamarnya. Terlentang di atas kasur, Rina memejamkan matanya dan pura-pura tidur. Sementara suara dering telepon seperti hendak memekakkan telinganya.

"Kenapa kamu menelepon aku tengah malam begini? Kau tahu aku biasa tidur cepat. Kau tahu aku tidak akan mengangkatnya. Bagaimana jika 'dia' yang mengangkat? Apakah kau akan diam saja? Seperti telepon-telepon iseng yang membuat orang ingin mencabut gagang telepon dari tempatnya dan membanting telepon itu sejadi-jadinya? Kenapa sih?" batin Rina riuh-rendah oleh keresahan itu.

Ia membolak-balik tubuhnya dalam selimut, di atas kasur. Setengah mati ia menahan keinginan untuk mengangkat telepon dan berbincang dengan sang penelepon. Dalam hatinya ia yakin, penelepon itu adalah kekasihnya.

Kamar itu hening sejenak. Kemudian, dering telepon yang sebenarnya pelan namun terasa memekik di telinga Rina kembali terdengar. "Rrrriiiiing!!!"

***

Andre tertidur nyenyak di samping istrinya. Setidaknya ia tertidur nyenyak sampai, lima menit setelah tengah malam, terdengar bunti deirng telepon dari ruang keluarga. "Aduh!" batinnya.

Eksekutif muda di sebuah perusahaan asuransi ini pura-pura tertidur lelap. Namun diam-diam ia mendengarkan terus, menunggu dering itu.

"Sudah aku bilang, jangan telepon aku ke rumah... apalagi tengah malam, bahaya tahu!" ujar Andre pada kekasih gelapnya, malam sebelum ini. Waktu itu Rina, istrinya, menginap di rumah orangtuanya karena mau mengurus pernikahan adik bungsunya.

"Tapi aku kangen betul sayang, dan kamu kan udah bilang kalau si jalang itu mau pergi ke tempat orangtuanya.." suara manja mendesah membuat Andre melunak.

"Iya. Aku cuma nggak mau hubungan kita kebongkar... kamu tahu kan, kalau aku minta cerai karena selingkuh, pasti dia bakal minta gono-gini dan segala macem tetek-bengek... malah jangan-jangan prosesnya bisa lebih panjang," Andre melanjutkan, kali ini suaranya lebih lembut.

"Sayang.. kenapa aku nggak boleh nginep disitu aja.. toh si jalang itu gak akan pulang sampai besok sore..." suara manja itu menggoda.

"Husy!! Emangnya kamu pikir tetangga gak akan lihat.. belum sopirku yang pagi-pagi pasti sudah datang untuk mencuci mobil.. kamu mau ketahuan?"

Malam ini Andre heran kenapa kekasih gelapnya itu menelepon lagi. Mungkinkah ia kesepian, memang ia masih mahasiswa dan tinggal sendirian saja di Jakarta, tapi seberapa kesepian sih sampai harus menelepon dua malam berturut-turut?

"Rrrrriiiiiing!!" Ketika telepon terdengar lagi, Andre sudah lelap tertidur. Kelelahannya terlalu banyak untuk membuatnya terjaga, lagipula ia tidak merasa bersalah, "Kan sudah aku bilang, jangan telepon.." batinnya, meluruskan rasa bersalah.

***

"Rrrrriiiiing!!!" Dering telepon memekik, minta perhatian. Entah sampai kapan.