Thursday, June 16, 2005

Matahari Merah

Matahari merah jalang, siang menyentak ubun-ubun. Kian panas hati Sadewa saat ia menempuh jalan-jalan perumnas yang aspalnya bak koreng.

Baru beberapa menit lalu ia meninggalkan rumah Adrian Djemat, seorang teman lama Ayahnya. Itu adalah kunjungan yang ketiga.

Sadewa tak ingin jadi pengemis, tapi nasib memaksanya untuk menengadahkan tangan. Semenjak Ayahnya meninggal karena komplikasi sakit jantung dan paru-paru, Sadewa adalah tulang punggung di keluarganya.

Ibunya jatuh sakit tak lama sesudah Ayahnya meninggal. Infeksi paru-paru menjatuhkan Ibu dalam pneumonia berkepanjangan.

Djemat adalah harapanya yang terakhir. Setelah beberapa tahun terakhir mengiba kesana-kemari mencari sumbangan uang, Djemat adalah satu-satunya kawan lama Ayah yang belum dimintai, atau memberi, bantuan.

Awalnya Sadewa bekerja, jadi wartawan di sebuah majalah. Namun desakan sakit ibunya membuat ia jarang masuk kantor, setoran hasil reportasenya pun semakin tak karuan.

Belakangan ia mendapat 'kesempatan' besar saat diminta meliput konferensi pers seorang mantan Jenderal. Berbekal kartu pers dan kelihaian berbicara, ia berhasil 'memeras' Rp 1 juta dari eks-Jenderal tersebut.

Sebenarnya secara moral hal itu tidak membuatnya merasa bersalah. Jenderal itu punya banyak dosa di masa lalu, dan Sadewa cukup lihai mempermainkan kata-kata sehingga Sang Jenderal Pensiunan mau saja percaya.

Untung bagi Sadewa, Jenderal yang dimaksud bukan tipe yang gemar menghantam. Pak Tua itu juga tidak punya jaring-jaring intelijen yang bisa mengancamnya.

Nasi jadi kerak, Jenderal itu punya cara lain 'membunuh' Sadewa. Aibnya dibongkar habis-habisan dan Sadewa masuk daftar hitam untuk selama-lamanya. Hanya soal Rp 1 juta.

Tanpa pekerjaan, Sadewa hanya bisa mengandalkan bantuan dari kawan lama Ayah yang masih bersimpati. Tentunya dibarengi kelihaiannya berbicara.

Dalam hati ia yakin hal ini adalah satu-satunya pilihan. Dari mana lagi ia harus mendapatkan uang untuk keperluan sehari-hari ia dan ibunya?

Tapi Djemat adalah karakter yang memusingkan. Percobaan pertama Sadewa menemui orang tua itu hanya menghasilkan dampratan dari seorang Satpam tolol.

Percobaan kedua? Sadewa dijebloskan dalam pertanyaan berputar-putar yang membingungkan.

"Kamu siapa?" awalnya.
"Dari mana? Siapa nama kecil bapakmu? Siapa nama ibumu? Di mana rumah masa kecil bapakmu?" adalah serangkaian pertanyaan lanjutan.

Kemudian hal itu masih ditambah lagi dengan cek KTP, SIM dan, bayangkan ini, akte kelahiran. Pahit betul!

Upaya ketiga ini adalah untuk menyerahkan fotokopi Akte Kelahiran dan Kartu Keluarga.

Pada saat yang sama Ibunya terbaring di rumah, dengan stok makanan di kulkas tak lebih untuk dua hari saja. Itu pun jika menghitung sekantung kentang yang sangat diragukan kesegarannya.

Masih saja ia pulang dengan tangan hampa.

Seratus meter lagi Sadewa akan sampai di halaman depan rumahnya. Ia ingat di samping tempat tidur Ibu tadi pagi telah disiapkannya secangkir teh manis dan sepiring nasi dengan lauk oseng-oseng tempe.

Limapuluh meter lagi Sadewa akan membuka pintu pagar hijau yang pernah dipanjatinya ketika masih kanak-kanak. Ia ingat Ibu masih tertidur lelap saat ia pergi tadi pagi.

Sepuluh meter lagi Sadewa akan melangkahkan kaki ke halaman yang pernah satu kali dihiasi oleh kembang sepatu merah favorit ibunya. Ia ingat tadi pagi hanya sempat mencium kening dan punggung tangan Ibu.

Saat membuka pintu depan, semua kenangan masa kecilnya melintas. Dekapan Ibu di malam hari saat ia menangis sehabis diomeli Ayah, bujuk hangat Ibu memintanya mandi saat sedang asik menonton film kartun di televisi, nasehat bijak Ibu setelah ia kepergok menghisap rokok, hingga tangis haru Ibu seusai ia diwisuda.

Pintu kamar Ibu dibukanya. Lirih suara Michael Stipe dari R.E.M menggema bagai hantu di telinganya:

Readying to bury your father and your mother,
What did you think when you lost another?
I used to wonder why did you bother,
Distanced from one, blind to the other?

Wednesday, April 06, 2005

Sebuah Perselingkuhan yang Amat Singkat

Kafetaria. Jam Makan Siang.

Tempat ini selalu penuh dengan para karyawan yang lapar dan lelah. Siang-siang begini, mereka dengan patuhnya melahap apapun yang kami sajikan. Tanpa tahu apakah makanan itu sudah dilumuri ludah atau hal-hal lain yang sulit untuk dibayangkan.

Tapi aku berhenti melakukan itu sejak dia datang. Namanya, aku lihat dari kartu nama yang bergelantungan di lehernya, adalah Arifin. Ganteng. Pria itu bekerja di 'Schroeder' (bagaimana cara membacanya?).

Dia muncul di kafetaria ini sejak seminggu yang lalu. Satu hari sesudah kemunculannya, aku menghabiskan uang mingguan untuk membeli parfum baru dan rok.

Tentu saja, suamiku segera protes. "Buat apa sih, parfum? Kamu pakai satu botol juga akan tetap bau minyak goreng!" ujarnya ketus.

Hari-hari belakangan ini ia tampak semakin hitam saja, suamiku itu. Aku tidak pernah menyadari ini sebelumnya, tapi kayaknya hidung suamiku itu berukuran terlalu besar. Belum lagi noda hitam di sisi bibirnya, apa itu? Tompel? Tahi lalat? Andeng-andeng? Tanda lahir?

Sore ini Arifin akan bertemu denganku. Kami sudah berjanji tadi. "Nanti sore ya mba'yu!" serunya sesudah makan siang. Ia makan siang agak cepat karena harus rapat.

Aku menggodanya, 'sibuk? cari lemburan buat istri ya?' Ia hanya menjawab dengan singkat, "Belum punya istri nih mba'yu. Cariing doong," Uhh, rasanya aku ingin melumat mulut yang bau minyak itu dengan bibirku!

Kafetaria. Sore

Ariefin masuk dari pintu besar. "Gimana mba'yu? sudah siap?" kata-katanya ringan.

'Ooh jelas. Aku selalu siap. Aku selalu siap untukmu!' hatiku berlompatan. Tanganku menyerahkan bungkusan itu padanya.

"Ok deh. Jadi berapa semuanya?" sambil menyodorkan selembar lima puluh ribuan ke tanganku. 'Uuuh, selipkan saja di dadaku, semua uang juga masuk ke situ kok,' benakku nakal!

Aku mendekatinya, hendak mengatakan sesuatu yang sangat romantis (entah apa).

Tiba-tiba, pintu depan berderak. Sesosok pria muncul. 'Oh sial!' aku mengumpat diam-diam.

Arifin pergi. Suamiku, yang muncul untuk menjemput, menggamit tanganku. "Kamu wangi," ujarnya perlahan. Kalimat paling romantis yang pernah aku dengar.

Sunday, February 13, 2005

Angin Bertiup Dingin

Sore itu angin bertiup dingin. Pikiranku melayang pada kamar yang hangat di lantai dua sebuah rumah sederhana di Perumahan Rakyat. Di situ, di sebuah ruangan berlantai kayu, di atas dua bilah kasur busa yang disatukan agar memuat dua orang, tertidur istriku. Wanita bertubuh mungil dan kurus.

Tubuhnya, aku bayangkan, pasti menggigil. Meskipun itu ruangan yang hangat. Wajar saja, karena beberapa hari ini ia baru saja mengalami hal yang berat. Baik secara badaniah, apalagi secara batiniah.

Aku melesakkan tanganku lebih dalam ke kantung jaketku. Mengharapkan kehangatan yang lebih dalam. Mungkin bisa membantuku meredam kegagalan yang beku.

Hari ini aku gagal lagi. Cerita yang aku tulis untuk sebuah majalah, tempat temanku bekerja, lagi-lagi tidak dimuatnya.

Kemarin juga sama saja. Pekerjaan menerjemahkan yang dijanjikan padaku dari seorang kawan ternyata tidak juga tembus. Ia selalu menunda-nunda waktunya, aku sampai berpikir ia mungkin memang tidak pernah benriat untuk memberikan pekerjaan itu padaku.

Jika ada yang bilang memiliki teman di media akan memudahkan naskah anda untuk dimuat, jangan percaya!

Sebagai mantan wartawan, satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah hal yang berkaitan dengan tulis-menulis. Jika dulu yang kutuliskan adalah fakta, maka sekarang fiksi. Hanya itu bedanya.

Namun aku kira mereka tidak akan pernah memandangku dengan dua mata lagi. Satu mata mereka pasti tertutup dengan sebuah coreng hitam. Aku pernah menerima amplop.

Ya. Mungkin tabu paling besar bagi kebanyakan wartawan adalah menerima amplop. Yang konon bisa disetarakan dengan menerima suap.

Perusahaan tempatku bekerja segera tahu ketika pada suatu liputan ke rumah seorang mantan pejabat aku dibekali amplop. Aku menerima amplop itu. Sumpah, itu pertamakalinya aku menerima amplop.

Kondisi yang mencekik leher yang memaksaku melakukan itu. Ayahku sakit keras, ibuku semakin pikun. Listrik dan telepon di rumah mereka, tempat aku dan istriku menumpang, sudah berbulan-bulan mati. Sementara istriku sedang hamil muda. Apa yang bisa aku lakukan saat disodorkan sebuah amplop padata uang ratusan ribu rupiah?

Tapi setidaknya aku bukan wartawan bodrek yang menodong amplop pada tokoh-tokoh dan direktur-direktur! Setidaknya aku masih memiliki harga diri di situ! Ya kan?

Aku menuju rumah. Istriku yang baru saja keguguran pasti menggigil. Kami bahkan tidak mampu membayar dukun beranak untuk memijat istriku.

Hari-hari belakangan ini pendarahannya makin menghebat. Padahal sudah hampir sepekan sejak janin dalam kandungannya meluruh. Sesak dalam dadaku terasa makin menggila.

Aku mencoba menghubunginya lewat ponsel usang yang mati-matian kupertahankan. Tapi telepon rumah sudah tidak tersambung lagi. Ponsel istriku juga sudah lama terjual, jadi tidak mungkin sms.

Aku hanya ingin mengabari bahwa aku gagal lagi. Tapi temanku menitipkan selembar amplop, di dalamnya beberapa lembar uang puluhan ribu. Cukup untuk makan beberapa hari ke depan.

Aku hanya ingin mengatakan padanya untuk tidak khawatir. Aku ingin ia tahu bahwa angin yang menusuk dingin ini tidak akan membuatku menyerah. Aku ingin ia tahu bahwa aku akan selalu berusaha untuknya. Bahwa aku memang benar-benar selalu jatuh cinta setiap kali melihat senyumnya yang terkembang.

Aku ingin mengatakan bahwa aku juga kangen. Kangen, seperti dibisikkannya tadi pagi saat aku hendak berangkat.

Perasaanku aneh, aku harus cepat pulang. Entah kenapa aku merasa bisikannya tadi pagi adalah salam perpisahan.