Saturday, December 16, 2006

Catatan Bogem Mentah 2

Nama saya Keling, 18 tahun. Keling bukan nama saya yang sebenarnya, itu julukan Bapak karena kulitku yang hitam legam. Bapak memang gemar memberi julukan. Pesek untuk kakakku Fita, dan Tambun untuk Ibuku.

Pertama kali aku dipanggil Keling adalah ketika aku berumur 9 atau 10 tahun. Kira-kira pada masa-masa awal Bapak mulai memukuliku.

"Mbuuun! Mandi! Air panasnya manaaaa!" ujarnya dengan suara serak pada suatu sore.

Ibu tergopoh-gopoh membawa air panas. Menuangkannya dalam ember di kamar mandi. Lalu kembali ke dapur.

Saat Bapak mandi adalah saat yang menyenangkan. Karena ia mandi cukup lama dan kami punya waktu untuk bersenang-senang tanpa dia.

Aku pun menyalakan televisi dan menonton serial kartun kegemaran. Stasiun televisi sepertinya paham dengan kehidupan di rumah ini dan selalu menayangkan film kartun terbaik mereka seiring dengan jam Bapak mandi.

Aku duduk melongo menyaksikan film, tak mendengar suara pintu kamar mandi terbuka.

"Heh! Sudah mandi belum!?" suara Bapak menggelegar. "Mandi! Nonton TV melulu!"

Aku bergegas mematikan TV dan menuju kamar mandi. Tapi aku terlambat. Bapak sudah keburu memegang lenganku.

"Hitam banget kulitmu! Keling!" hardiknya. Lalu ia menggotong tubuhku yang tak seberapa besar ke kamar mandi.

Ia membanjurku dengan air dingin. Menyikati kulitku dengan batu apung. Awalnya aku diam, tapi lama kelamaan gosokannya semakin keras dan kulitku perih. Aku menggeliat, tak sengaja salah satu tanganku menubruk telinganya. Pelan saja.

Bruk! Tiba-tiba tubuhku dihempaskannya ke lantai kamar mandi. Ia melemparkan batu apung ke kepalaku. "Nggak bisa diam ya!" bentaknya.

Lalu aku diangkat dari lantai dan dipukuli. Wajahku lebam setelah itu. Seminggu tak bisa masuk sekolah dan terpaksa tidak ikut darmawisata ke Museum Gajah.

Catatan Bogem Mentah 1

Nama saya Keling, 18 tahun. Ini adalah catatan harian saya. Saya lebih suka menyebutnya catatan pemukulan. Saya masih ingat pukulan pertama yang saya terima dari Bapak.

Ketika itu saya masih 9 atau 10 tahun. Kami sekeluarga sedang asik berpiknik di Tirta Sari, sebuah komplek wisata kolam renang diParung, tak seberapa jauh dari rumah.

Aku menyeruput Coca-Cola dingin dari kaleng. Ibu asik mengupas mangga. Kakak Fita sedang berenang.

Tiba-tiba Ayah datang. Ia mendengar soal piknik kami dari entah siapa, mungkin para tetangga.
Ibu berusaha menjelaskan. "Bukannya tak mau ngajak. Bapak katanya baru pulang besok. Mama nggak tahu Bapak mau pulang hari ini," ujarnya sambil terisak, mangga berserakan di rumput. (Dalam hati aku bersukur Bapak menendang piring itu, sehingga pisau pun terlempar jauh dan ia tak sempat mengambilnya)

Amukan Bapak berlanjut dan bertubi-tubi. Aku mulai menangis. Ia menghampiriku. "Cengeng!" umpatnya, nyaris tak bersuara.

Lalu sebuah pukulan keras mendarat di keningku. Sebuah tempelengan yang membuatku terjungkir, coca-cola membasahi tubuhku yang telanjang dada.

Kakak Fita, aku lihat sambil terbaring, duduk di tepi kolam dan mengamati amukan Bapak. Tubuhnya kelihatannya bergetar, mungkin campuran dari dingin dan takut.

Setelah menempelengku Bapak pergi. Ibu menangis memunguti mangga yang terserak. (Dalam hati aku berharap pisau pemotong mangga tadi tidak terlempar terlalu jauh, agar Ibu bisa mengambilnya lalu menghunjamkannya di punggung Bapak).