Rene duduk terpaku. Ia menatap lukisan yang bergantung di tembok di hadapannya. Lukisan itu menggambarkan seorang wanita, persis seperti dirinya. Hanya saja, wanita itu nampak lebih bahagia dari Rene.
Rene pemurung. Setelah lelah menumpahkan kekesalannya dengan menatap lukisan itu, ia berjalan menunduk menuju kamarnya. Kamarnya terletak di lantai tiga kastil itu, tepat di menara barat yang menghadap ke danau jernih.
Sayangnya, Rene tidak pernah sempat menikmati danau yang indah, yang permukaannya mengkilap dibilas sinar matahari setiap pagi dan senja. Ia hanya punya waktu untuk mengeluhkan angin yang tajam mengiris-iris kulitnya, matahari yang terlalu terik untuk berjalan-jalan atau langit yang terlalu luas.
Ah, ya. Rene sebenarnya cantik. Tengoklah wajahnya yang bulat telur. Kulitnya putih gading dan lembut. Bola matanya yang coklat dihiasi oleh bulu mata yang lentik. Bibirnya? Ah, ya. Bibirnya yang merah segar dan penuh itu sering nampak menggemaskan bila mulai bergerak.
Sayangnya, Rene hanya senang merengut, merajuk dan menunduk. Ia lebih sering menitikkan air mata, murung dan sedih.
Rene tidak selalu begitu, dulu ia adalah gadis yang periang. Ia memerintahkan pembuatan taman yang indah di belakang kastil ini. Taman yang lengkap dengan segala air mancur dan jalan setapak yang dibuat dari batu-batu putih keemasan.
Suatu hari, seorang pemanah melepaskan panahnya menembus lambung Rene. Rene yang limbung menyeret jejak darah hingga ke dalam kastil, mengurung diri dalam kamarnya, dan hanya keluar untuk tenggelam dalam kesedihan. Karena, setelah panah itu mengoyak lambungnya dan menghabiskan darahnya, ia tidak bisa lagi menikmati taman yang indah, danau yang jernih atau apapun yang ada di kastil itu.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment