Sunday, December 07, 2003

Menanti Salju Turun di Bogor

(written by Senja Jingga)

Kereta lewat 30 menit lebih dari jadwal, di stasiun bogor didekap getir hujan yang memukul rel-rel karatan.

Aku menunggu, seorang gadis membawa tas hitam berpayung biru kecil menggenggam buku bersampul kelabu. Bahkan hampir habis rombongan gerbong ketiga berangkat ke Jakarta dia tak kunjung datang.

Belum tuntas perjalanan ini dan kuputuskan menunggunya di suatu tempat lagi.

Siang merambat yang datar, lalu lintas yang ramai, orang-orang jalan bergegas entah hendak pergi kemana. Beberapa mahasiswa berteduh di pelataran beranda Mall (menikmati kepulan angin sejuk conditioner, atau menunggu kekasih?).

Kuselidik di seberang dan tak berharap menemu dia di sana. Mall terlalu penuh sesak barang-barang, manusia, keramaian, keriuhan yang nyaris absurd dan berulang-ulang. Dan kita penikmat keganjilan dari hijau pepohonan, gedung tua, jalan lengang, petang basah sehabis hujan...

Hampir jam dua siang kuteruskan mencari ke barat. Melewati toko-toko gemerlap namun suram estetika kunikmati sebuah lagu dari toko kaset seberang jalanan ; Pasrah, Emmi Kulit dalam irama jazzy nan pedih. Hampir satu refrain lagu, wajahnya samar-samar berlari di kumpulan penjual bunga. Lamat-lamat dia seperti berhenti di antara seikat aster dan membeli sekuntum.

Ah..Hendak kau beri siapa?

Diantara permulaan petang, gerimis turun sebentar, sisa pagi tadi mungkin tertahan dirombongan awan terakhir. Aku tiba di kampus. Dari gerbang, mahasiswa berjaket berjalan lalu lalang. Kuliah akhir sudah lewat rasanya, tapi sekilas masih terlihat ruang 101, kuliah "Kalkulus I' masih berlangsung. Dari jendela kusaksikan mata-mata yang lelah menatap angka di OHP tulis. Curiga menatap jam didinding. Sayu menatap senja yang gerimis.

Ah, dimana dia? Kuliah? aku makin gemetar menantinya..

Di tikungan Arboretrum, aku makin mengecil menghirup jalanan yang basah dan bau tanah lembab basah laboratorium hutan tadah hujan. Dan harapan makin mengerucut tapi misteri senyumnya menguntit, jangan-jangan muncul tiba-tiba dari atas tangga menuju perpustakaan pusat university (ah, kenapa kenangan masih terus berputar-putar dilingkungan ini. Adakah kampus sebuah penjara bagi kenangan dan cerita-cerita nostalgik?)

Kuteruskan saja dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak habis terjawab.

Kesadaran mungkin enggan pulih, jika saja senja menyadarkan, bahwa aku baru saja akan menentang malam. Kucari teman setia dalam kantung tas paling depan. Ah, ini dia teman paling penyabar dalam mendengarkan gundah gelisah, kawan paling cemerlang dalam merumuskan sintesa tentang rindu dan perih secara bersamaan; rokok.

Kusulut dan kuhisap dalam-dalam, Huss..kuhayati nikmat asap Filtra yang sedari tadi kulupakan ini.

Kemerlap lampu tercecer digenangan air hujan. Rerumputan sempoyongan dan basah. Senja tak jadi jingga. Bangku taman fakultas benar-benar lowong sekarang. Koridor sudah benar-benar putih lampu flouresens. Cukup dulu.

Mungkin sketsa melankolik wajahmu cuma asing mimpiku saja. Mungkin cuma ingin menggenapkan mimpi-mimpi ganjil kedukaan. Mungkin hanya seonggok harapan abstrak yang memang tak pernah utuh. Yang karena ketidak utuhan itulah membuat intensitas pencarian ini makin menarik dan memikat. Siapa kau/dia? aku tak pernah tahu. Muncul dan hilang selalu tiba-tiba.

Ditanah-tanah waktu ku cangkuli lahan pertanian. Di bangku kuliah paling kiri waktu kuliah menjadi benar-benar jemu dan memuakkan. Waktu aku harus meregang tangan menghentikan buret pada titik akhir titrasi. Ah, peri apa pula dia ini. Mengajarkan keteduhan saat emosi kadang memuncak dan meledak tak tertahankan.

Di perbatasan perjalanan yang akan selesai ini, sekilas namun kulihat jelas ia sedang berdiri di jalanan menunggu angkutan. Sketsa yang kubangun mewujud. Ia sedang menggenggam buku bersampul kelabu, menggendong tas hitam berbalut jaket hitam yang tertutup hingga ke jenjang lehernya. Kupandangi ia. Lampu sorot mobil sesekali menampar wajah itu. Melankolik, sendu dan ah, tipis bibir itu.. Kemudian, angkutan berhenti, ia bergegas naik, pergi tanpa mengikat janji untuk kembali.

Ehm, nikmat nian perjalanan ini. Makin menarik dan memikat, karena bukan titik akhir yang harus dikejar. Tapi pencarian ini yang sebenarnya kudambakan untuk tak pernah berakhir.

Dalam riang, aku pulang. Kubayangkan kamar telah menanti. kamar kos yang sempit, yang temaram, yang penuh coretan, yang indah yang belum dibayar...

No comments: