Thursday, January 29, 2004

Pertemuan Kecil

(written by Senja Jingga)

Sebelum pertemuan: Bagaimana mengurai rindu dan amarah yang membelit seperti benang kusut tak beraturan? Saling bersilang-silang, bertumpuk dan tindih-menindih. Kenyataannya aku perih, luka dan letih. Tetapi ada desakan di dalam yang menyembul, menggapai, sukar di lawan: aku rindu dia!

Sudah berpuntung filtra ku hisap. Duduk gelisah di bangku peron stasiun keberangkatan luar kota. Ku ingat lagi sms yang dia kirim petang kemarin: "Dari Yogya jam 8 malam, mungkin sampai Gambir pagi sekitar jam 10-an, jemput ya.." Ku ingat lagi kapan terakhir kali pertemuan dengan dia. 3 bulan yang lalu ku rasa, tetapi kenyataan yang kujalanani seperti sebuah pengalaman usang yang sudah di tutup seperti dalam kumpulan album video. Kenyataan yang aku sendiri sangsi apakah benar aku nikmati dengan sepenuh hati? Terlalu banyak peristiwa yang berlari, suasana yang berbayang buram, kenyataan yang akan pahit buat di ingat-ingat. Retakan janji.

..........

Suasana agak ramai di stasiun kereta ini meredam sedikit kecewa karena kereta (lagi-lagi) telat dari jadwal. Entah kenapa melihat orang lalu-lalang hendak bepergian membuat pikiran jadi tidak lagi terfokus untuk menunggu dia datang -yang karena fokus itu membuat keringat dingin dan kecepatan ku menghisap filtra jadi bertambah-. Akan kemana orang-orang itu pergi? Kulihat wajah-wajah yang satire menggenggam tiket. Suasana bukan holiday, tapi masih saja ada waktu buat orang-orang untuk bepergian, menanggalkan seribu masalah di rumah atau menambah masalah karena bepergian dengan status dinas? Ah, jadi ingin bepergian, meninggalkan seratus duka di rumah.
Mencari suasana asing, orang-orang asing. Alam raya yang masih luas ini terlalu sayang untuk cuma jadi lintasan jalan dan rel kereta. Cuma jadi titik dan garis dalam peta. Aku ingin ke gunung, danau yang jernih, membasuh muka, membasuh jiwa. Ah..

Sudah beberapa kereta lewat. Sudah beratus orang turun dan bergegas meninggalkan peron. Tapi kereta belum juga tiba membawa dia. Sepasang muda-mudi lewat di depan ku, sekilas terlihat cincin emas melingkar di jari manis mereka. Menikah? Kata asing ini melingkar juga di urat nadi. Terus terpompa ke arteri darah masuk ke bilik jantung mebuat darah berdesir cepat. Tercekat di tenggorokan. Duh Tuhan kenapa aku mual dan ingin muntah ? Ilusi masa depan ? Buru-buru aku minum dan kembali mencoba bersikap tenang.

Pikiran tentang masa depan selalu saja membuat iri. Kenapa cuma bisa dipikir. Fobia, takut dan kecemasan. Seperti hantu yang tak nampak yang samar-samar berbayang di tirai jendela waktu malam. Terlalu banyak yang mesti di sembunyikan. Terlalu banyak gembur-gembur tanah tempat mengubur kesetiaan. Terlalu banyak lubang-lubang ku gali dan kubiarkan kosong lupa ku tutup kembali. Ketakutan akan terjerembab dan hilang ditelan galian itu. Kesempurnaan memang bukan identitas human manapun kurasa, tapi bukankah jalan menempuh itu wajib pula di ikhtiarkan. Pekat nian kabut itu untuk kutembus. Atau aku yang tak punya nyali lagi melihat dengan mata jujur. Aku capek.

Rasa letih dan luka ini makin menjadi borok sejarah. Luka yang tergores lama dan makin menjadi karena lupa ku tutup. Tepian yang mulai sembuh terkoyak lagi tersayat pisau berkarat. Seribu puisi sesal rasanya tak cukup kuat menutup darah yang mengucur hebat. Seribu filtra ku hisap tak akan cukup menghilangkan kepenatan dan desakan kuat untuk meminta maaf. Rasa bersalah. Luka. Letih. Rindu. Adakah kamu mengerti ? Aku janjikan jalan yang lapang buat kau itu, adakah kau simpan didalam kalbu? Hik..hik, gadis, betapa kental tangis ku untuk semua memoar yang pernah kita jalani bersama.

Pepohonan, rumah makan, hujan, dedaunan, cinemac, senja.. Aku benci dengan semua yang kelak akan pudar dan tak mungkin tertahan diamuk badai perubahan.


15-Maret-03 22:53
From : 081xxxxxxxx
"Mas, semester depan aku udah bisa ikut wisuda.
Doa'in yah. Mas ke Yogya-nya bareng Papa sama Mama aku aja.
Hitung-hitung pelajaran kalau nanti kita udah nikah. He.He
Miz U. Love"


Gadis kau kirimi aku massage kegelisahan. Aku tak tahu apakah masih bisa bertahan hingga ke waktu yang kau minta itu. Aku letih. Kau luka. Adakah kau tangisi jika masa itu tiba?

...................

Sudah bungkus kedua filtra bersampul putih ini ku buka. Aku makin gelisah dan merinding. Aku tak bisa menduga apakah ini akan jadi kegelisahan ku yang terakhir di stasiun ketika harus menunggu dia dari luar kota. Simpul senyumnya menari lagi di atap-atap stasiun yang penuh oleh rangka besi berwarna hijau. Pyar..Lamunan ku buyar. Announcement pengawas peron memberitakan kereta dari Yogya 10 menit lagi tiba. Aku berdiri menyimak tajam, seperti berdirinya penonton memberikan tepukan tangan pada akhir sebuah concerto musik klasik. Akhirnya..

Benar juga. Kali ini tepat sistem kereta api. 10 menit lebih 28 detik yang terbaca pada jam digital ku, lokomotif kereta muncul berdegub-degub. Kutatap lekat-lekat gerbong yang lewat seperti membawa bau Yogya menyibak udara yang memutar lemas di stasiun. Ngomong-ngomong, aku baru tersadar bahwa dia lupa (atau sengaja) memberi tahu gerbong mana dia duduk. Baik, kuselidik dari depan ke ujung saja. Aku lari menuju gerbong ke depan, tapi sulit, orang-orang sudah banyak turun, berbeban pula.

Seseorang tiba-tiba menarik tas ransel ku dari belakang. "Hai. Lama nunggu ya?" Glek, suara itu ! Lama ku menengok kebelakang. Suara
itu tak perlu menegaskan lagi siapa pemiliknya. Suara dari himpitan nyeri dari ulu hati ku sendiri. Suara yang membuat letih sekaligus ku rindu. Suara dia. Gadis itu. "Hei!" Usik nya lagi. Perih. Aku menengok juga ke belakang.

"Kamu..kenapa nangis ?"

No comments: