Monday, January 12, 2004

Sindroma Hari Senin

Entah karena semalam habis mabuk, atau memang pada dasarnya pengantuk, Doethe berangkat dari kos-annya di Gang Kober dengan malas-malasan. Padahal jam sudah bergeser ke angka 8 dan ia sudah pasti akan terlambat lagi sampai di kantor.

Senin pagi memiliki semacam ketegangan yang khas di udara. Jalanan yang setengah basah oleh hujan deras minggu sore dan kemacetan yang hinggap disana-sini menggarisbawahi ketegangan yanng bisa membuat orang darah tinggi itu.

Angkutan umum yang padat dan tidak menyisakan harapan. Habis, harapan apalagi yang mau disisakan? Menunggu angkutan yang sekedar longgar saja (supaya bisa menyelipkannya tubuhnya yang overweight itu) seperti menunggu hujan di gurun pasir. Semakin menunggu, semakin frustasi saja tokoh kita ini. Rasanya setiap angkutan yang menyusul angkutan sebelumnya justru bermuatan lebih padat.

Ketika akhirnya ia berhasil menyangkutkan tubuhnya di salah satu angkutan, Doethe terpaksa menyerah pada marahnya dan mencak-mencak. Bagaimana tidak? Di depannya terentang jalan sekian kilometer yang seharusnya bisa dilalui dengan agak tersendat-sendat, hari ini dipadati oleh kendaraan seperti antrian ABG menonton AADC: ruwet dan tegang karena semua orang
ingin melaju duluan.

Lagu ringan Project-Pop membayang di kepalanya. "Isi kebun binatang tumpah semua."

Butuh hampir dua setengah jam bagi Doethe untuk sampai di kantornya. Tak perlu ditanya seberapa pekat aroma keringat bercampur 'uap besi' menempel di tubuhnya.

Namun, yang paling membuat Doethe ingin berteriak-teriak seperti orang gila di film Indonesia 'jaman dulu' adalah kenyataan berikut ini: Saat ia hendak mengambil handphonenya (yang ia kubur di dalam tas kerja, di balik kaos dalam cadangan dan beberapa kertas-kertas coretan serta buku agenda 2004) benda ajaib itu sudah raib.

"Padahal handphone 'busuk' begitu, kok masih ada aja yang mau ngambil ya?" ia akhirnya cuma bisa mengurut dada dan perut yang semakin gembul.

No comments: